Di
Tulis Oleh : Drs. H. Kalis Purwanto, MM.
I.
Pendahuluan
Berbicara pendidikan adalah berbicara tentang masa depan. Berbicara anak adalah
berbicara tentang penerus sejarah. Berbicara pendidikan anak adalah berbicara
tentang proses pembuatan sejarah. Setiap orang ingin menulis sejarah dan meninggalkan
sejarah baiknya. Begitulah kata-kata orang bijak yang sering kita dengar. Ada
lagi suara orang tua; Anakku adalah buah hati belahan jantung penerus cerita
penyambung sejarah. Ia bagaikan mutiara yang kusimpan dalam kantung beludru,
kantungnya dalam kotak terkunci, kotaknya dalam almari, almarinya terkunci,
almarinya dalam kamar, kamarnya terkunci. Begitu seterusnya yang intinya menggambarkan
bahwa anak adalah mutiara yang paling berharga dan perlu penjagaan yang teramat
ketat.
Sisi yang lain setiap orang tua selalu membanggakan anaknya. Beruntung jika
orang tua dikaruniai anak yang berbakat. Pakar keberbakatan Dr. Reni Akbar Hawari
mengingatkan bahwa jumlah anak berbakat tidak sampai 3 persen dari populasi
anak. Angka tersebut tentu masih debatable namun perlu kita maknai bahwa anak
berbakat memang sedikit jumlahnya. Yang perlu disadari lagi adalah setiap anak
memang unik. Mereka lahir dengan membawa bakat dan potensinya masing-masing.
Tidak ada dua orang di dunia ini yang sama persis bahkan kembar identik identik
sekalipun. Tuhan Mahasempurna mendsain detail demi detai ciptaan-Nya sehingga
akal manusia tidak mampu menjangkaunya. Sebagai manusia kita hanya bisa berucap
“Sungguh Engkau telah menyempurnakan manusia dengan segenap perbedaan,
dan semoga aku bisa belajar dari perbedaan itu”.
Untuk menghantarkan anak-anak kita ke puncak prestasi diperlukan kombinasi antara
kepintaran, kecerdasan, dan bakat mereka. Kepintaran adalah kemampuan menyerap
informasi. Ketika anak mampu membaca dan mengambil ilmu pengetahuan yang diserapnya,
maka dia cukup pintar. Kepintaran akan berhenti di situ. Orang pintar akan banyak
memiliki pengetahuan yang kadang terhambat dalam pengambilan keputusan. Kecerdasan
adalah kemampuan mengelola kepintaran. Orang sukses tidak mesti pintar melainkan
punya kemampuan mengelola orang pintar. Kecerdasan membuat anak kita mengetahui
kepintaran orang yang cocok mengerjakan jenis pekerjaan tertentu. Sedang bakat
adalah potensi bawaan yang memunculkan keunikan. Orang berbakat dalam bidang
tertentu selalu bisa menghadirkan perbedaan. Dia bisa melihat hal yang sama
tapi berpikir dengan cara yang berbeda dan unik. Ada yang berpendapat bahwa
bakat bisa muncul dalam bentuk kreativitas. Kreativitas menghasilkan inovasi
dalam bidangnya. Orang yang kreatif dengan mudah “stand out of the crowd”,
tampil mempesona dengan penuh percaya diri.
II. Potensi Bawaan
Penemuan mutakhir membuktikan bahwa faktor pewarisan sifat-sifat manusia bukan
pada kromosom yang kecil itu malah terdapat pada gen di dalamnya. DNA (Deoxyribonucleic
Acid) atau Asam Deoksiribosanukleat merupakan tempat penyimpanan informasi genetik
itu. Sebuah molekul DNA manusia menyimpan informasi yang sedemikian banyak dan
rumit. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa dalam DNA seseorang mengandung lima
milyar potongan informasi yang beragam. Jika satu potong informasi yang ada
dalam gen manusia dibaca setiap detik- tanpa henti- maka dibutuhkan waktu seratus
tahun sebelum proses pembacaan itu selesai. Jika informasi dalam DNA itu dijadikan
buku-buku, lalu ditumpuk maka tingginya akan mencapai tujuh puluh meter.
Potensi
bawaan (Innate potential) seseorang akan bakat, kecerdasan,dan kecenderungan
memang diakui keberadaannya. Masing-masing orang akan menampilkan perfomanya
tidak akan lepas dari seputar potensi bawaannya. Persoalannya, tidak mudah melihat
bakat seseorang tanpa kesungguhan dan konsistensi pengamatan serta pengukuran
yang akurat. Jadi bakat bawaan setiap insan tidak lagi diperdebatkan ada dan
tidak adanya, namun bagaimana melacak bakat bawaan itulah ikhtiar yang harus
dilakukan. Dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknolgi maka upaya
mencari model penelusuran bakat terus disempurnakan oleh para ahli yang berkompeten.
Harus diakui bahwa pendekatan terhadap potensi bawaan anak di Indonesia masih
menggunakan teori Renzulli. Di sana dijelaskan bahwa anak yang potensi bawaannya
tinggi adalah IQ di atas rata-rata. Nilai /scoring dari hasil rata-rata; verbal,
logika, numeric,task commitment dan kreativitas; dari kurang dari 80 s/d di
atas 140 merupakan bentuk penyamarataan potensi. Ibarat membuat rerata dari
obyek satuan yang berbeda; 45 m ditambah 35 kg ditambah 50 newton sama dengan
140. Angka 140 tidak punya nama satuan karena gabungan dari tiga satuan yang
berbeda. Tentu itu tidak keliru karena memang sudah berlangsung lama dan tidak
ada yang memprotesnya. Akan lebih bijak apabila dengan legowo pihak pendidik
dan stakeholders terkait menggunakan konsep pendekatan ilmiah yang lebih baru.
Pendekatan multidimensional dan dinamis yang mampu bukan hanya menjangkau konsep
gifted dari perkembangan kognitifnya melainkan dari berbagai segi.
III.
Pendidikan Anak Usia Dini
Mendidik sejak dini diyakini lebih efektif dibandingkan dengan usia-usia berikutnya.
Mendidik tidak saja mentransfer ilmu melainkan juga nilai-nilai. If you want
some body to do or not to do you must be an example. Begitu kata pakar pendidikan.
Kita akan lebih efektif jika bersedia menjadi contoh daripada sekedar memberi
contoh anak-anak kita. Pendidikan yang paling bermutu diyakini bermula dari
rumah. Bagaimana seorang bapak mengelola waktu untuk dirinya dan untuk keluarganya
sudah cukup menjadi pelajaran “profitable time management” buat
anak-anaknya. Bagaimana seorang ibu dengan sabar mengelola uang belanja terbatas
yang dirasakan dampaknya oleh seluruh anggota keluarga, sudah lebih dari cukup
menjadi pembelajaran ekonomi riil buat anak-anaknya.
Kedudukan sekolah adalah kelanjutan proses belajar dari rumah. Para guru ibarat
derigent sebuah orchestra pembelajaran tanpa batas. Konvensi PBB tentang Hak
Anak menghormati hak pendidikan sebagai hak fundamental anak. Dalam situaasi
apapun menurut Pasal 29 KHA, pendidikan anak harus tetap mengacu pada norma
yang berbasis kesetaraan kesempatan. Hal ini dapat dimaknai bahwa kesetaraan
bukan berarti harus sama dalam memperlakukan semua anak. Mereka punya potensi
yang berbeda. Mereka individu yang merdeka dan unik. Mereka punya pesona yang
beraneka ragam. Menyiapkan pola didik yang variatif merupakan jawaban untuk
itu semua.
Ketika anak berumur kurang dari 5 tahun perkembangan otaknya sangat luar biasa
pesat begitu pula daya tangkapnya. Mereka mempunyai daya tangkap jauh lebih
besar dari orang dewasa. Semua yang ada di lingkungannya akan ditangkap melalui
panca indranya dengan sangat cepat. Para ahli memberi informasi bahwa di dalam
otak anak seumuran itu terdapat satu triliun jaringan, dua kali jumlah jaringan
yang dimiliki orang dewasa. Itulah penyebab terjadinya akselerasi kerja otak.
Sel-sel otak yang disebut neuron telah terhubung dengan sel-sel lain sebelum
kelahiran.Sel-sel itu mengontrol detak jantung, nafas, reflex serta mengatur
fungsi-fungsi lainnya. Sel-sel tersebut memberikan sinyal-sinyal dalam dorongan
elektrik yang bergerak sepanjang sel syaraf. Masing-masing sel syaraf berhubungan
dengan 15.000 sel lainnya yang disebut synapse. Synapse inilah yang sering disebut
sel belajar.
Beberapa penelitian menunjukkan terjadi peningkatan produksi synapse sampai
tiga kali orang dewasa pada anak yang berumur 3 sampai 10 tahun. Setelah itu
otak memulai mekanisme kerjanya membuang synapse-synapse yang tidak dibutuhkan.
Otak akan membuang synapse yang tidak dibutuhkan berdasarkan sel-sel yang sering
digunakan. Kalau sel itu sering digunakan akan dipertahankan sedang yang tidak
akan dengan sendirinya terbuang. Begitulah prinsip daya ingat pada proses belajar
yang kita alami.
Para ilmuwan berpendapat, pengalaman awal anak secara mendalam akan memicu otak
dalam mengubah pola pikir tentang kebutuhan-kebutuhan anak. Selain itu kapasitas
individu untuk belajar dalam berbagai latar bergantung pada hubungan dengan
alam atau bakat (nature) dan pengasuhan atau pendidikan (nuture) yang diberikan.
Otak manusia terkonstruksi dalam cara-cara yang kompleks,evolutif dan sistemik
sehingga mendapatkan pengalaman dan pendidikan akan lebih efektif jika pada
tahun-tahun pertama kehidupan. Anak-anak pada usia itu biasa memberikan respons
yang asertif, menantang dan punya sifat ingin tahu yang tinggi. Cara paling
baik mengembangkan jaringan-jaringan otak belajar tadi dengan menyediakan kebutuan
dan keperluan mereka. Lingkungan yang aman dan dipenuhi oleh orang-orang yang
memberikan tanggapan terhadap kebutuhan anak akan memungkinkan optimalnya perkembangan
proses belajar.
IV. Proses Belajar yang Memberdayakan
Siswa adalah subyek belajar. Guru/pengajar , pamong atau apapun namanya adalah
fasilitator. Itu semboyan atau paling tidak istilah para tokoh aliran pemberdayaan.
Saat guru bertanya “How are you? “ dan para siswa menjawab serentak
“Iam fine” menunjukkan bahwa seakan jawaban yang benar adalah itu.
Apa benar anak sekelas yang 30 orang keadaannya sama. Ok jika diharapkan bernilai
sama, mengapa tidak ada varian jawaban seperti “Iam good”,”
Iam be happy” atau semacamnya? Hal-hal serupa jamak kita temukan di kelas-kelas
di lingkungan kita. Tidak salah sih namun itu akan kebawa dalam kebiasaan seterusnya
bahwa berbeda sesuatu yang asing bahkan aneh.
Guru dan siswa di kelas adalah dua pihak yang terintegrasi dalam upaya membangun
proses belajar yang interaktif. Kedua pihak mempunyai factor andil keberhasilan
masing-masing. Guru dengan metode yang diplihnya ditambah komimen untuk sharing,
sementara siswa dengan latar belakang keluarga yang memang terbiasa interaktif
di rumah. Sekurang-kurangnya ada enam hal yang harus diyakini sebagai cirri
belajar yang memberdayakan. Pertama hakikat pembelajaran, kedua teknik dan metode
pembelajaran, ketiga prinsip pembelajaran, keempat manajemen kelas efektif,
kelima teori-teori belajar dan yang keenam profesionalisme dalam pembelajaran.
Hakikat pembelajaran. Dalam banyak pengkajian timbul silang pendapat tentang
hakikat belajar namun telah bisa ditarik benang merahnya. Yakni yang terpenting
adalah adanya perubahan perilaku pada diri orang yang belajar. Bukan tambahnya
pengetahuan melainkan perilaku yang dijadikan ukuran. “Learning always
involves a change in the person who is learning,” kata Nicolich dan Wolfolk.
Ada yang menambahkan bahwa; “To qualify as learning, this change must
be brought about by experience, by the interaction of a person with his or environment”
Jelas dari batasan itu pengalaman merupakan aspek penting dari belajar. Perubahan
yang terjadi pada siswa setelah belajar harus dari pengalaman. Bukan dari mendapatkan
informasi sepihak. Dengan begitu seharusnya pemberian pengalaman pada siswa
didesain secermat mungkin agar bisa mengakomodir tingkat kedewasaan dan emosional
siswa.
Metode pembelajaran. Di antara ragam pembelajaran yang kita fahami sekarang
ini salah satunya adalah metode kontektual. Prof.Dr. Arief Rahman secara getol
memperjuangkan metode ini. Dalam metode ini siswa diajarkan untuk kreatif, dimungkinkan
bisa memberikan jawaban yang berbeda dengan guru. Siswa dipacu untuk mencari
dan mencari daripada menerima secara sepihak dari guru. Guru dituntut untuk
terbuka terhadap hal-hal yang baru dan menerima perbedaan sebagai keniscayaan.
Pendekatan yang digunakan pun lebih personal dalam rangka pengembangan sosial-emosi-kognitif
secara integratif. Jika metode ini dikembangkan kelak akan tercipta atmosfir
kreatif pada para siswa. Persoalannya kembali pada guru dan sekolah. Siap dan
bersediakah untuk sedikit lebih terbuka, proaktif dan akomodatif terhadap perubahan.
Prinsip belajar, manajemen kelas, teori-teori belajar serta profesionalisme
pembelajaran adalah satu rangkaian yang tak terpisahkan. Paradigma baru pembelajaran
haruslah kita sikapi secara bijak. Kebiasaan lama yang mendewa-dewakan aspek
kognitif haruslah mulai dikurangi kalau tidak bisa ditinggalkan. Lebih-lebih
sekarang kita ketahui bahwa hanya 20 persen andil IQ dalam keberhasilan, selebihnya
ditentukan oleh EQ. Apalagi IQ tidak bisa ditingkatkan sebagaimana EQ yang bisa
terus-menerus ditingkatkan secara simultan. Pendeknya perlu adanya re-orientasi
proses belajar yang disesuaikan dengan keberbakantan siswa.
V. Prestasi Puncak Berawal dari Rumah
Prestasi anak adalah idaman kita sebagai orang tua. Setiap keluarga merumuskan
prestasi dan idaman putranya bisa berbeda-beda. Paling tidak kita sepakat ada
tiga idaman orang tua untuk anaknya. Pertama anaknya pintar, kedua sehat dan
yang ketiga taat kepada orang tuanya dan agamanya. Demikian sebaliknya kita
punya tiga ketakutan yakni negasi dari ketiga hal tersebut; yakni sakit-sakitan,
bodoh dan nakal. Sekalipun hal tersebut bersifat umum namun prestasi macam apapun
harus bermuara pada integrasi dari tiga hal itu. Di depan telah disinggung bahwa
anak kita terlahir dengan membawa bakat yang berbeda. Karena potensi bawaannya
berbeda tentu pemfasilitasannya pun harus berbeda guna mencapai prestasi yang
optimal.
Paling gampang yang bisa kita amati dari anak kita adalah modalitas belajarnya.
Dari informasi para ahli anak kita mempunyai tiga modalitas belajar; visual,
auditorial dan kinestetik. Kedekatan ibu/bapak pada anaknya sangat memudahkan
mengenali modalitas apa yang dimiliki anaknya. Modalitas belajar visual mengacu
pada kesukaan dan kepekaan pada pengelihatannya. Indera pengelihatannya sangat
dominan menerima, menyikapi dan menyimpan dibandingkan indera yang lain. Modalitas
auditorial mengacu pada indera pendengarannya, dan modalitas kinestetik mengacu
pada indera perabaannya. Di lapangan ditemukan ada yang sangat dominan salah
satu inderanya di samping ada juga yang secara merata ketiganya. Ada pula yang
dua menonjol sementara indera satunya lamban bahkan cenderung bebal. Variasi
modalitas ini mesti dipahami sebagai titik tolak belajar serta acuan pemenuhan
kebutuan atas rangsangan belajarnya.
Di samping mengenali modalitas belajarnya dicari pula kecerdasan majemuknya.
Kecerdasan majemuk yang diperkenalkan oleh Howard Gardner meliputi delapan aspek
yang sama-sama telah kita kenal. Kedelapan aspek tersebut berturut-turut adalah;
Logika Matematika, Bahasa, Intrapersonal, Interpersonal, Kinestetik Jasmani,
Visual Ruang, Musikal dan Naturalis. Dengan mengetahui kecerdasan mana yang
menonjol dapat dengan lebih presisif mengarahkan, memilihkan kursus dan ketramplan
yang menunjang. Di lapangan terbukti orang-orang sukses yang tidak ada hubungannnya
dengan education-backgroun-nya ternyata bakatnya memang sesuai dengan prestasinya
sekarang. Itulah sebabnya banyak orang berpendapat bahwa prestasi puncak berasal
dari rumah dengan menemukan bakatnya.
VI. Langkah Arif untuk Anak Kita
1. Kita bersegera menemukan Modalitas Belajar anak-anak kita
2. Kita bersegera menemukan Kecerdasan Majemuknya
3. Kita berusaha untuk tidak membanding-bandingkan prestasi mereka
4. Kita berdayakan Kecerdasan yang menonjol dengan memfasilitasinya
5. Kita iringi doa demi doa agar mereka bisa meraih impannya
sumber : http://konsultasi.dmiprimagama.com